Wednesday, May 27, 2015

Mahatir: "Islam Arab menjajah Malaysia"

 Bali Tour
MALAYSIA: Putri sulung Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahatir Muhammad, Marina Mahatir mengkritik negaranya yang saat ini menjalankan budaya Islam yang bernuansa kultur Arab.
Menurut Marina, seharunya Malaysia punya corak keislaman sendiri yang sesuai dengan konteks budaya asli masyarakat Malaysia. 

“Ini hanya Arabisasi. Budaya kita itu kolonialisme, penjajahan Arab," kata Marina, dikutip dari themalaymailonline.com, Senin (25/5).

Perempuan yang saat ini sebagai aktivis perempuan ini mencontohkan, corak berpakaian warga Malaysia terutama yang muslimah yang sangat kental berpakaian ala budaya Arab.
Sebaiknya, menurut Marina, Muslimah Malaysia dapat berpakaian sehari-hari dengan tidak harus mengenakan pakaian seperti pakaian wanita Arab, asalkan pakaian yang dikenakan dapat menutup aurat perempuan.

Ia pun meminta agar semua umat Islam Malaysia mulai untuk lebih terbuka untuk belajar tentang bagaimana Islam sebenarnya.
Selama ini, kata dia, Islam di Malaysia tak banyak yang benar-benar tahu bagaimana Islam yang sesungguhnya sangat terbuka mengenai banyak hal. Tidak kaku seperti yang diterapkan di Malaysia.

"Islam memiliki sejarah intelektual yang sangat kuat, tetapi di sini (Malaysia) tidak ada yang intelek sama sekali. Kami di sini hanya diajarkan ritual, bukan bagaimana untuk menjadi pemikir besar,” ucap Marina.

Marina kemudian juga mengungkapkan kegeramannya karena banyaknya kritik yang dilontarkan melalui media Malaysia yang memojokkan kaum perempuan.
Seperti mempermasalahkan perempuan Muslim Malaysia yang berkerudung berfoto dengan artis pria asal Korea. Ia menilai, pihak pengkritik mempunyai pemikiran yang kaku tentang prinsip Islam yang ia anut. 

Hal ini diangap Marina tidak sesuai dengan apa yang diimbau oleh pemerintah Malaysia yang menginginkan agar Muslim bersatu. Sebab negara mereka sendiri, kata Marina, masih belum paham arti Islam yang sebenarnya yang harus diterapkan untuk masyarakat Malaysia
Powered by Ubud Driver

Sunday, May 03, 2015

Big Bang dan Genesis dalam Hindu

Donder (2007) dalam karya bukunya yang berjudul Kosmologi Hindu menguraikan tentang sketsa singkat tentang kronologis proses evolusi penciptaan beradasarkan literatur Hindu dapat diuraikan sebagai berikut :

(1) Pada mula-mula di mana-mana tidak ada apa-apa, → (2) dalam keadaan tidak ada apa-apa, yang ada hanyalah Tuhan sendiri → (3) Kekosongan bagaikan ruangan kosong dan itu sebagai badan saguna Brahma dari Tuhan → (4) Pada ruang kosong itu ada Energi kasar (propan) yang disebut prakrti Tuhan berwujud asthaprakrti satu di antaranya adalah Akasa ‘ether’ → Nama lainnya adalah Vayu → (5) Dari Vayu muncul Udara → (6) Dari gesekan Udara yang disebabkan oleh getaran Udara maka terjadi kondensasi hingga menimbulkan teja ‘Panas’ → (7) Energi panas ini akhirnya menyebabkan pemuaian ruang yang sedemikian besar → (8) Akhirnya ruang dan seluruh prakrti Tuhan (meledak) → (9) Bunyi ledakan yang sangat besar itu merambat ke segala penjuru sebagai gema yang setelah diperhatikan; gema itu tidak lain adalah bunyi (A, U, M → Om). (10) Bunyi Om yang juga disebut Pranava Sabda ini diyakini sebagai bunyi yang paling awal di alam semesta, sehingga bunyi Om itu dipercaya sebagai suara penciptaan. Dari sini pula munculnya banyak keyakinan yang mem-percayai bahwa alam semesta ini diciptakan dari Vak, atau Vicara, Sabda, Firman, Logos, kata-kata, bunyi, atau suara → (11) Dari ledakan itu muncul Air (Zat Cair Panas seperti bubur atau lava gunung berapi) → (12) Zat Cair itu terlontar dari ruangannya dengan tenaga yang sangat besar → (13) Lontaran dari ledakan itu terjadi secara beruntun → (i) lontaran pertama menjadi Planet Raditya ‘Matahari’ dikendalikan oleh deva Surya → (ii) lontaran kedua menja-di Planet Coma ‘bulan’ dikendalikan oleh Deva Chandra atau juga devi Ratih → (iii) lontaran ketiga menjadi Planet Anggara, → (iv) lontaran keempat menjadi Planet Budha, (v) lontaran kelima menjadi Planet Wrspati, → (vi) lontaran keenam menjadi Planet Sukra, (vii) lontaran ketujuh menjadi Planet Saniscara, masing-masing memiliki pengendalinya. Ketujuh planet itu merupakan bagian dari jaga raya yang sangat luas. Ketujuh planet ini menjadi nama-nama hari dalam setiap minggu. Urutan nama hari itu dianggap sebagai urutan dari kelahiran planetp-planet tersebut. 

Redite → Raditya : Minggu, 

Soma → Coma : Senin, 

Anggara → Anggara : Selasa, 

Budha → Buda : Rebo, 

Wrspati → Wrspati : Kamis, 

Sukra → Sukra : Jumat, 

Saniscara → Saniscara : Sabtu. 



Setelah terjadi Tata Surya dalam Alam Semesta → (14) Tuhan dalam hati-Nya (budhi) berpikir (manas) dan berke-hendak (ahamkara) ini menciptakan mahluk-mahluk, maka Penciptaan mahluk dimulai → (15) Pertama-tama di awali dengan mncullah Manu (Manusia yang terlahir dari pikiran Tuhan) di atas planet bumi ini → (16) Manu selanjutnya memerankan penciptaan seluruh mahluk dari diri-Nya → (17) Manu membelah diri-Nya menjadi dua bagian yang sama persis seperti pinang dibelah dua, (18) satu bagian menjadi Laki-laki dan (19) satu bagian-Nya lagi menjadi Perempuan. Kedua-duanya disebut Ardanareswari yang Laki-laki juga disebut Purusa (+) dan yang Perempuan disebut Pradana (-), ada juga sebutan-sebutan lain untuk menyebut keduanya. Tetapi yang jelas masing-masing dengan karakter devata ‘ilahi’ → (20) Hubungan intim (seks; dalam pengertian bukan hubungan kelamin, tetapi kontak antar energi devata) antara Purusa dan Pradana melahirkan Hewan dan Mahluk lainnya → (21) Dari Hewan-hewan lahir Hewan yang banyak → (22) Semua mahluk itu merupakan perwujudan dari Manu. Manu lah asal mula dari manusia dan mahluk lainnya, karena Manu mendapat tugas penciptaan selanjutnya. Pada awal mula penciptaan mahluk-maluk hidup seperti; manusia dan Hewan hanya memakan makanan berupa energi akasa atau prana azas kehidupan yang laing esensial → (23) Selanjutnya Manu terus mencipta hingga tercipta tumbuhan – makanan dan seterusnya → (24) hingga tercipta 84.00.000 mahluk hidup → (25) dari hewan-hewan pertama yang diciptakan Manu itu, berevolusi kembali menjadi manusia dengan kadar kedewataannya yang telah menurun. Semua mahluk berke-inginan untuk dapat kembali kepada Tuhan melalui evolusi kelahiran sebanyak angka 84 di atas. Bagi mahluk yang hanya bertingkahlaku biasa-biasa saja yang selalu meng-ikuti dorongan hawa nafsunya ia akan mungkin sekali melintasi atau mengalami reinkarnasi sebanyak 84.00.000 kali dan mengalami macam kehidupan sebagai 84.00.000 jenis kehidupan mahluk hidup. Hanya orang-orang yang memiliki pengetahuan Atmavidya atau Brahmavidya yang dapat memutus rantai kelahiran dan kematian ini.

Semoga bermanfaat, Salam Damai.
Powered by Bali Tour Driver

Tuesday, April 28, 2015

Bhisama PHDI Catur Warna (Penghapusan Kasta di Bali)

Lampiran
BHISAMA SABHA PANDITA PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
Nomor : 03/Bhisama /Sabha Pandita Parisada Pusat/X/2002
Tentang Pengamalan Catur Vama

PENGAMALAN CATUR VARNA

A. Latar Belakang.

Sudah merupakan pengertian umum babwa ajaran Catur Varna yang bersumber pada wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang terhimpun dalam kitab suci Veda dan kitab-kitab susastra Veda (Hindu) lainnya adalah ajaran yang sangat mulia. Namun dalam penerapannya terjadi penyimpangan penafsiran menjadi sistem Kasta di India dan sistem Wangsa di Indonesia (Bali) yang jauh berbeda dengan konsep Catur Varna. Penyimpangan ajaran Catur Varna yang sangat suci ini sangat meracuni perkembangan agama Hindu dalam menuntun umat Hindu selanjutnya. Banyak kasus yang ditimbulkan akibat penyimpangan itu yang dampaknya benar-benar merusak citra Agama Hindu sebagai agama sabda Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan agama tertua di dunia.

Perjuangan untuk mengembalikan kemurnian ajaran Catur Varna itu sudah banyak dilakukan oleh sebagian umat Hindu. Perjuangan itu dilakukan baik oleh para cendekiawan maupun lewat berbagai organisasi/lembaga keumatan Hindu. Meskipun sangat alot namun perjuangan untuk mengembalikan kebenaran ajaran Catur Varna itu sudah menampakkan hasilnya. Seperti dalain bidang pemerintahan, politik, ekonomi dan hukum semakin nampak adanya kesetaraan. Justru dalam bidang keagamaan dan sosial budaya seperti pergaulan dalam kemasyarakatan membeda-bedakan Wangsa atau Soroh itu masih sangat kuat. Dalam bahasa pergaulan sehari-hari sangat tampak adanya penggunaan sistem Wangsa yang salah itu, dipakai oleh umat Hindu. Demikian pula dalam bidang keagamaan dan adat istiadat membeda-bedakan Wangsa itu masih sangat kuat. Hal itu menjadi sumber konflik yang tiada putus-putusnya dalam kehidupan beragama umat Hindu di Indonesia (khususnya di Bali). Wacana dari berbagai kalangan umat Hindu semakin keras untuk kembali ke ajaran Catur Varna, oleh karena itu dalam Maha Sabha VIII Parisada Hindu Dharma Indonesia bulan September 2001 di Denpasar telah mengusulkan adanya penetapan Bhisama Tentang Catur Warna ini. Usulan itu didahului oleh berbagai seminar dan diskusi-diskusi. Seminar dan diskusi itu diadakan oleh Parisada maupun oleh Orinas dan lembaga-lembaga umat Hindu.

Hampir setiap seminar dan diskusi ada usulan untuk kembali kepada sistem Catur Varna dengan melepaskan dominasi sistem Wangsa. Tujuan ditetapkannya Bhisama Catur Varna untuk mengembalikan secara bertahap agar proses perubahan meninggalkan sistem Wangsa yang salah itu menuju pada sistem Catur Varna lebih cepat jalannya. Sistem Wangsa agar dipergunakan hanya untuk Pitra Puja dan untuk berbakti kepada leluhur dalam menumbuhkan rasa persaudaraan di intern wangsa itu sendiri. Sistem Wangsa hendaknya diarahkan untuk mengamalkan ajaran Hindu yang benar dalam kontek kesetaraan antar sesama manusia. Sistem Wangsa itu tidak dijadikan dasar dalam sistem pergaulan/adat-istiadat sehari-hari. Seperti sistem penghormatan dalam pergaulan sosial/adat-istiadat.

Menurut pandangan Hindu sesungguhnya semua umat manusia bersaudara dalam kesetaraan (Vasudeva kutum bakam). Demikian juga pandita dalam swadharmanya memimpin upacara tidak memandang dari asal usul Wangsa seseorang. Seorang setelah melaksanakan upacara Diksa menjadi pandita sudah lepas dari ikatan Wangsanya.

B. Pengertian dan Fungsi Ajaran Catur Varna Menurut Kitab Suci Veda

Tujuan hidup menurut ajaran Agama Hindu sebagaimana dinyatakan dalam kitab Brahma Purana 228.45.Dharma artha kama moksanam sarira sadanam, artinya: badan (Sarira: Sthula, Suksama dan Antakarana Sarira) hanya dapat dijadikan sarana untuk mencapai Dhanna, Artha, Kama dan Moksa. Inilah yang disebut Catur Purusha Artha atau empat tujuan hidup. Untuk mencapai empat tujuan hidup manusia itu harus dicapai secara bertahap. Dalam Agastya Parwa dinyatakan bahwa empat tujuan hidup itu dicapai secara bertahap menurut Catur Asrama. Tahap hidup Brahmacari diprioritaskan rnencapai Dharma, tahap hidup Grhastha diprioritaskan mencapai Artha dan Kama, sedangkan dalam tahap hidup Vanaprastha dan Sannyasa Asrama tujuan hidup diprioritaskan mencapai Moksa.

Untuk mewujudkan empat tujuan hidup dalam empat tahapan hidup (Catur Asrama) itu dibutuhkan empat jenis profesi yang disebut Catur Varna. Dalam kitab suci Yajurveda XXX.5 dinyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa menciptakan empat profesi atas dasar bakat dan kemampuan seseorang. Brahmana Varna diciptakan untuk mengembangkan pengetahuan suci, Ksatriya untuk melindungi ciptaan-NYA, Vaisya untuk kemakmuran dan Sudra untuk pekerjaan jasmaniah. Dalam mantra Yajurveda XXX.11 dinyatakan Brahmana Varna diciptakan dari kepala Brahman, Ksatriya dari lengan Brahman,Vaisya dari perut-Nya dan Sudra dari kaki-Nya Brahman. Jadi semua Varna itu diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Keempat Varna ini memiliki kemuliaan yang setara. Hal ini dinyatakan dalam mantra Yajurveda XVIII.48 untuk memanjatkan puja kepada Tuhan Yang Maha Esa, Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra sama-sama diberikan kemuliaan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Keempat Varna itu akan mulia kalau sudah mentaati swadharmanya masing-masing.

Dalam Bhagavadgita IV.13 dan XVIII.41 dengan sangat jelas dan tegas bahwa untuk menentukan Varna seseorang didasarkan pada Guna dan Karmanya. Guna artinya minat dan bakat sebagai landasan terbentuknya profesi seseorang. Jadinya yang menentukan " Varna" seseorang adalah profesinya bukan berdasark-an keturunannya. Sedangkan Karma artinya perbuatan dan pekerjaan. Seorang yang berbakat dan punya keakhlian (profesi) di bidang kerohanian dan pendidikan serta bekerja juga di bidang kerohanaian dan pendidikan itulah yang dapat disebut ber "varna" Brahmana. Demikian juga orang yang dapat disebut ber " varna" Ksatriya adalah orang yang berbakat dan punya keakhlian di bidang kepemimpinan dan pertahanan. Orang yang berbakat di bidang ekonomi dan bekerja juga dalam bidang ekonomi ialah yang dapat disebut Vaisya. Sedangkan orang yang hanya mampu bekeda hanya dengan menggunakan tenaga jasmaninya saja karena tidak memiliki kecerdasan disebut Sudra.

Menurut Manawa Dharmasastra X.4 dan Sarasamuscaya 55 hanya mereka yang tergolong Brahmana, Ksatriya dan Vaisya Varna saja yang boleh menjadi Dvijati (pandita). Sudra tidak diperkenankan menjadi Dvijati karena mereka dianggap hanya mampu bekerja dengan mengandalkan tenaga jasmaninya saja, tanpa memiliki kecerdasan. Dvijati harus memiliki kemampuan rohani dan daya nalar yang tinggi, oleh karenanya Swadharma seorang Dvijati adalah sebagai Adi Guru Loka atau Gurunya masyarakat. Namun untuk mendapatkan tuntunan kitab suci Veda semua Varna berhak dan boleh mempelajarinya termasuk Sudra Varna. Hal ini ditegaskan dengan jelas dan tegas dalam mantra Yajurveda ke XXV.2.

Vama seseorang tidak dilihat dari sudut keturunannya, misalnya kebrahmanaan seseorang bukan dilihat dari sudut ayah dan ibunya, meskipun ayah dan ibunya seorang pandita atau rsi yang tergolong ber "Varna" Brahmana, belum tentu keturunannya menjadi seorang Brahmana, seperti halnya Rawana, kakeknya, ayah dan ibunya, adalah rsi yang terpandang, namun Rawana bersifat raksasa. Prahlada di dalam kitab Bhagavata Purana disebut sebagal anak dari raksasa bemama Hiranya Kasipu, namun Prahlada adalah seorang Brahmana sangat taat beragama meskipun ia masih anak- anak. Varna seseorang tidak ditentukan oleh keturunannya ini dijelaskan dengan tegas dalam kitab Mahabharata XII. CCCXII,108 bahwa ke "Dvijati"an seseorang tidak ditentukan oleh ke "wangsa"annya (nayonih), yang menentukan adalah perbuatannya yang luhur dan pekerjaanya yang memberi bimbingan rohani kepada masyarakat.

C. Menegakkan sistem Catur Varna.

Untuk mengembalikan sistem Catur Varna dalam masyarakat Hindu di Indonesia haruslah ditempuh langkah-langklah sbb:

1. Umat Hindu harus diajak secara bersama-sama untuk menghilangkan adat-istiadat keagamaan Hindu yang bertentangan dengan ajaran Catur Varna, khususnya dan ajaran agama Hindu pada umumnya. Hal ini dilakukan melalui berbagai "metode pembinaan umat Hindu" yang telah ditetapkan dalam Pesamuan Agung Parisada Hindu Dharma Indonesia tahun 1988 di Denpasar yang terdiri dari : Dharma Wacana, Dharma Tula, Dharma Gita, Dharma Sadhana, Dharma Yatra dan Dharma Santi.
2. Dalam kehidupan beragama Hindu umat diajak untuk tidak membeda-bedakan pandita dari segi asal kewangsaannya. Seorang pandita dapat "muput" (memimpin) upacara yang dilaksanakan oleh umat tanpa memandang asal-usul keturunannya. Umat Hindu dididik dengan baik untuk tidak membeda-bedakan harkat dan martabat para pandita Hindu dari sudut asal " Wangsa"nya.
3. Dalam persembahyangan bersama saat "Nyiratang Tirtha" (memercikkan air suci) umat diajak untuk membiasakan menerima "Siratan Tirtha" (percikkan air suci) dari Pamangku atau Pinandita. Ada sementara umat menolak dipercikkan Tirtha oleh Pamangku pura bersangkutan. Hal itu umumnya karena menganggap Pemangku itu Wangsanya lebih rendah dari umat yang menolak dipercikan Tirtha itu. Sikap seperti itu jelas menggunakan sistem Wangsa yang melecehkan swadharma seorang Pemangku.
4. Sistem penghormatan tamu Upacara Yajna atau Atithi Yajna dalam suatu Upacara Yajna janganlah didasarkan pada sistem Wangsa, artinya jangan tamu dalam upacara yajna dari Wangsa tertentu saja mendapatkan penghormatan adat, bahkan kadang-kadang ada pejabat resmi yang patut mendapatkan pengerhonnatan yang sewajarnya, didudukkan ditempatkan yang kurang wajar dalam tata penghormatan itu.
5. Umat Hindu hendaknya diajak untuk melaksanakan upacara yajna pawiwahan yang benar, seperti kalau ada pria yang mengawini wanita yang berbeda wangsa pada saat upacara "Matur Piuning" di tempat pemujaan keluarga pihak wanita, seyogyanya kedua mempelai bersembahyang bersama.
6. Pandita seyogyanya tidak menolak untuk "Muput" upacara "Pawiwahan" (perkawinan) karena mempelal berbeda wangsa.
7. Dalam hal Upacara Manusa Yadnya "Mepandes" (Potong Gigi), orang tua sepatutnya tidak membeda-bedakan putra-putrinya yang disebabkan oleh perkawinan berbeda wangsa.
8. Tidak seyogyanya seseorang yang akan di-Dwijati / di-Abiseka kawin lagi hanya karena istrinya yang pertama dari wangsa yang berbeda.
9. Perkawinan yang disebut kawin nyerod harus dihapuskan
10. Upacara adat Patiwangi harus dihapuskan sejalan dengan hapusnya tradisi Asumundung dan Karang hulu oleh Dewan Pemerintah Bali Tahun 1951.
11. Pemakaian bahasa dalam etika moral pergaulan antar wangsa, sepatutnya saling harga-menghargai agar jangan menimbulkan kesan pelecehan terhadap wangsa lainnya.

Demikian Bhisama ini ditetapkan untuk memberikan tuntunan kepada umat Hindu demi tegaknya supremasi nilai-nilai agama Hindu di atas adat-istiadat. Dengan demikian adat-istladatpun akan tetap terpelihara dengan dasar kebenaran ajaran agama. Hendaknya umat Hindu tetap memelihara adat yang menjadi media penyebaran kebenaran Veda yang disebut Satya Dharma.



Ditetapkan di : Mataram, NTB
Pada Tanggal : 29 Oktober 2002

Powered by Bali Tour Driver

Thursday, March 12, 2015

TUHAN dalam pandangan leluhur Nusantara

"TUHAN" DALAM PANDANGAN BANGSA NUSANTARA   Leluhur Nusantara) mengajarkan tata cara hidup beradab BERADAB kepada kita semua, namun keberadaban yang dimaksud sama sekali tidak ada urusannya dengan KETUHANAN (tidak mengatas-namakan TUHAN). Artinya, oleh para leluhur Nusantara "tuhan" sama sekali tidak dijadikan OBJEK bulan-bulanan, baik untuk menakut-nakuti manusia, mengancam maupun hanya untuk menyenangkan dan menggembirakan 'Dia'. Sungguh begitu NAIF dan RENDAH, jika ternyata TUHAN masih membutuhkan perasaan SENANG dan GEMBIRA ataupun MARAH. Tuhan macam apa yang seperti itu.? jenis "Tuhan" yang begitu jangan-jangan hanya "tuhan-tuhanan" hasil ciptaan manusia.   


Bagi Nusantara, TUHAN diletakan pada posisi yang MAHA-ADILUHUNG dan tidak boleh dilanggar, sehingga NAMA-NYA TIDAK BOLEH SEMBARANG DISEBUTKAN! Bahkan ada kecenderungan hampir "TIDAK BERNAMA", sebab "tuhan" TIDAK BOLEH DICIPTAKAN oleh manusia dalam bentuk atau status apapun (termasuk nama/sebutan).   Selama ribuan tahun leluhur Nusantara 'menyimpan' TUHAN di dalam dirinya masing-masing, ditempat yang maha agung yang tak tersentuh oleh KERENDAHAN AKAL. Ini sama sekali BUKAN PENGASINGAN kepada-Nya, melainkan bentuk PENGHORMATAN kepada YANG MAHA.   Bagi leluhur Nusantar , TUHAN adalah yang tidak boleh terpilah dan terpisah, "dia" adalah satu kesatuan (kemanunggalan) yang harus dipertanggung-jawabkan oleh setiap individu. Artinya, SIAPAPUN YANG BERANI MENYEBUT-NYA harus dapat MEMBUKTIKAN-NYA. maka sungguh berat tanggung-jawab untuk mengatakan TUHAN. saat seseorang mengatakan "TUHAN" maka dia harus mampu menunjukan HUKUM BUKTI KEBERADAAN secara SERENTAK dan MENYELURUH TERDENGAR, TERABA, TERLIHAT, TERKECAP, TERCIUM,TERASA!   


Sungguh berbeda dengan jaman sekarang dimana bangsa Nusantara dengan MUDAH menyebut dan mengatakan TUHAN, bahkan lebih edan lagi ada yang MENGATAS-NAMAKAN TUHAN. (atas nama TUHAN). celakanya mereka itu tak ada satupun yang mampu MEMBUKTIKANNYA. hampir 100% BERLINDUNG DI BALIK TEORI-TEORI dalam KITAB dan sama sekali BUKAN BERDASARKAN BUKTI DIRI!   Akhirnya, pandangan masyarakat umum dalam ketidak-tahuan terhadap AJARAN Asli Nusantara menjadi semakin sempit dan NEGATIF, apalagi setelah muncul berbagai teori THEIS dan RELIGI dalam bidang ilmu pengetahuan (pendidikan) hingga ajaran leluhur dicap sebagai ANIMISME ataupun DINAMISME, ironisnya di "YA" kan oleh mayoritas bangsa Nusantara itu sendiri.   


Begitu tingginya Tuhan ditempatkan di atas segala-galanya, hingga yang sering terlihat dihadapan umum hanyalah UPACARA UNGKAPAN RASA TERIMA-KASIH kepada ALAM SEMESTA atas kehidupan yang saling memberi dan menerima, saling mengisi dan menjaga. (bukankah menjaga dan mengelola segala CIPTAANNYA merupakan BUKTI dan BAKTI nyata kepada Sang Maha Pencipta...?) "SEPI PUJIAN tapi NYATA dalam BUKTI dan BAKTI".   Ajaran LELUHUR BANGSA NUSANTARA sebagai TUAN RUMAH saat ini malah TERSISIH dan TERSINGKIRKAN oleh ajaran (agama) IMPORT yang BARU LAHIR kemudian.... Ajaran Nusantara TERBUANG dari kehidupan ANAK BANGSA yang senyata-nyatanya sebagai PEWARIS RESMI AJARAN LELUHUR NEGARA.... Apa sebabnya.?


Konon akibat ajaran Nusantara seolah TIDAK MENGENAL TUHAN, sedangkan agama import secara EKSPLISIT mengajarkan tentang keberadaan 'tuhan' dengan NAMA dan PANGGILAN yang JELAS, dengan demikian AGAMA IMPORT itu dianggap LEBIH BENAR...LEBIH BERADAB... LEBIH SEMPURNA dan secara sah DIAKUI oleh NEGARA REPUBLIK INDONESIA...!!!   Saat ini nama dan sebutan TUHAN begitu mudah DIJUMPAI dan mudah DIDENGAR, nama Sang Maha Agung begitu MURAH DIOBRAL dalam berbagai sisi kehidupan, dijadikan objek bulan-bulanan atas berbagai kejadian.... umumnya sering disebut sebagai KEHENDAK TUHAN...! Bahkan dalam salah satu agama import "tuhan" itu BOLEH DISEBUT, DAPAT DIPANGGIL, HARUS DIKATAKAN.   


Sungguh ironis... ajaran leluhur bangsa yang begitu agung menempatkan Sang Maha Tunggal dalam jarak yang sulit dijangkau kebodohan tidak lagi dipandang sebagai suatu KEBAJIKAN dan KEBIJAKAN... Dalam hal ini, secara adat-istiadat (kebudayaan Nusantara) NAMA ORANG TUA sendiri-pun TABU untuk disebutkan langsung jika tidak benar-benar diperlukan... apalagi NAMA TUHAN... dan lebih terasa KURANG AJAR LAGI APABILA TUHAN DIPANGGIL NAMANYA.)   TIPS UNTUK BEREKSPERIMEN : Cobalah panggil orang tua anda dengan cara memanggil namanya secara langsung... Apa yang akan terjadi ...? Misalnya : "Hai Joko...Hai wayan dsb !"   Betapa BERDAULATNYA menjadi orang Inggris yang dapat menyebut "GOD" kepada tuhannya tanpa dipandang RENDAH oleh bangsa manapun.... kenapa BANGSA NUSANTARA seolah-olah ANTI untuk menyebut "HYANG" kepada tuhannya...????

Di copas dari entah darimana.

Monday, February 16, 2015

Wayan Limbak - Pencipta tari Kecak

Wayan Limbak (1897 - August 31, 2003), adalah seorang penari Bali yang bersama-sama Walter Spies (seorang pelukis Jerman) menciptakan tarian Kecak yang sangat terkenal sekarang ini. Beliau meninggal dunia di usia 106 tahun di Desa Bedulu, Gianyar, Bali.

 Kecak Bedulu

Bekerjasama dengan Walter Spies sekitar tahun 1930an, berawal dari tarian Sang Hyang (tarian suci untuk ritual upacara) yang digelar setiap tahun dalam upacara suci di Pura Goa Gajah, Bedulu, Gianyar. Dengan usulan dari Walter Spies, tarian Sang Hyang tersebut dimodifikasi menjadi sebuah tarian Kecak seperti sekarang yang kita kenal, dengan mensisipkan cerita biasanya diambil dari epos Ramayana,  takkala Subali bertempur dengan adiknya Sugriwa atau Rahwana menculik Dewi Sita.

Tarian Kecak ini ditarikan 50 sampai 100 orang dengan hanya menggunakan kain hitam dan ikat pinggang loreng tanpa baju membentuk formasi lingkaran, dimana nada musik untuk mengiringi tarian pemeran tokoh2 cerita, hanya dengan suara seluruh penari bersahut sahutan dengan mengucapkan cak cak cak cak...

 bali information

Wayan Limbak mempopulerkan tari Kecak sebagai wakil Bali khususnya dan Indonesia pada umumnya ke seluruh dunia dengan membawa grup tarinya keliling dunia untuk mengikuti berbagai festival internasional.

Wayan Limbak pada saat hidupnya memiliki 3 istri, 4 anak, 22 cucu, 17 cicit.

Disadur dari berbagai sumber.

By: Yanik Jiwa Negara

Tuesday, June 10, 2014

Filsafat Hindu

FILSAFAT HINDU


Filsafat Hindu bisa dibagi menjadi 6 sekolah "astika" (ortodox) atau darshana (pandangan), dimana menerima Weda sebagai sumber sastra utama. Dan 3 sekolah "nastika" (heteredox), yang tidak menerima Weda sebagai sumber sastra utama.


Sekolah2 Astika adalah:


1. Sankhya.

Samkhya atau Sankhya adalah filsafat Hindu Ortodox yang paling tua. Samkhya menyatakan semuanya adalah realitas yang berasal dari purusha (diri, atman, jiwa) dan prakriti (material, energy). Ada banyak jiwa yang hidup (Jeevatmas) dan semuanya memiliki kesadaran. Prakriti terdiri dari 3 sifat (guna): aktif (rajas), malas (tamas), tenang (sattva) (sattva ini timbul jika 2 sifat/guna yang lainnya berada dalam keseimbangan). Karena hubungan yang melekat antara jiwa dan 3 sifat tadi, sehingga dunia ini berevolusi. Kebebasan jiwa bisa dicapai jika jiwa menyadari bahwa ia berada diatas dan diluar tiga sifat tadi (terlepas dari ikatan 3 sifat/triguna tadi). Samkhya adalah filsafat dualitas, tapi berbeda dengan bentuk dualitas yang lain. Di barat, dualitas adalah antara pikiran dan tubuh, sedangkan Samkhya antara jiwa dan materi (dalam hal ini pikiran termasuk materi). Konsep atman (jiwa) berbeda dengan konsep pikiran. Jiwa adalah realitas absolut merasuki semuanya, abadi, tidak bisa dihancurkan, tidak berbentuk, kesadaran murni. Jiwa adalah non-materi dan diluar intelek. Pada dasarnya, Samkhya adalah non-theis, tapi pertemuannya dengan filsafat Yoga menjadi theis.

2. Yoga

Filsafat Yoga sangat dekat dengan Samkhya. Sekolah Yoga ditemukan oleh Patanjali dengan menerima psikolgi dan metafisik dari Samkhya, tapi lebih theistik dari Samkhya, sebagai contoh dengan menambah entitas Tuhan pada 25 element realitas Samkhya. Persamaan antara Yoga dan Samkhya sangat dekat seperti Max Muller bilang "kedua2nya searah susah membedakan, bisa dibilang Samkhya dengan Tuhan dan Samkhya tanpa Tuhan..." .
Kitab utama sekolah Yoga adalah Yoga Sutra oleh Patanjali, yang dianggap sebagai penemu filsafat Yoga.

3. Nyaya

Sekolah Nyaya didasari oleh Nyaya Sutra yang ditulis oleh Aksapada Gautama, sekitar abad 2 SM. Kontribusi paling penting dari sekolah ini adalah metodeloginya. Metodeloginya didasari oleh sistem logika yang selanjutnya dipakai oleh mayoritas sekolah di India. Ini membandingkan hubungan antara sains barat dengan filsafat, yang mana sebagian besar diambil dari Logika Aristotelian.
Sayangnya, Nyaya dianggap lebih logikal dari sebenarnya oleh pengikutnya. Mereka percaya hanya dengan mendapatkan ilmu pengetahuan yang valid saja bisa terbebas dari penderitaan, dan mereka rela menderita hanya untuk meneliti validitas dari sebuah sumber ilmu, untuk memisahkan yang salah/tidak valid. Menurut Nyaya, ada 4 sumber pengetahuan: persepsi, kesimpulan, perbandingan, testimoni. Pengetahuan dicari melalui itu semua untuk menentukan apakah valid atau tidak valid. Nyaya mengembangkan beberapa kriteria validitas. Misalnya, Nyaya adalah mungkin yang paling dekat dengan filsafat analisa India. Yang pada akhirnya Nyaya memberikan bukti logis terhadap eksistensi dan keunikan Ishvara sebagai jawaban atas Buddhism, dimana saat itu Buddhism pada dasarnya non-theis. Nyaya selanjutnya yang lebih dikenal adalah navya-nyaya/ neo-nyaya.

4. Vaisheshika

Sekolah Vaisheshika ditemukan oleh Kanada dan menekankan keberagaman atom. Semua obyek di alam fisik bisa diuraikan menjadi atom2 tertentu, dan Brahman dianggap sebagai kekuatan fundamental yang menyebabkan kesadaran pada atom2 ini.
Walaupun Sekolah Vaisheshika berkembang terpisah dari Nyaya, dua2nya akhirnya bergabung karena persamaan teori tentang metafisika. Pada awal2nya, bagaimanapun Vaisheshika dibedakan dengan Nyaya pada hal krusial, dimana Nyaya menerima 4 sumber pengetahuan validitas, Vaisheshika hanya menerima 2: persepsi dan kesimpulan.

5. Mimamsa

Obyektifitas utama adalah sekolah Purva Mimamsa, didirikan untuk otoritas Weda. Selanjutnya, sekolah ini sangat berjasa dalam kontribusinya menentukan aturan2 perumusan penafsiran Weda. Pengikut Mimamsa percaya bahwa seseorang harus mempunyai kepercayaan yang gak perlu dipertanyakan terhadap Weda dan melaksanakan selalu Yajnas, atau ritual api suci. Mereka percaya dalam kekuatan mantra dan yajnas lah aktifitas semesta ini bisa berjalan. Untuk mendukung kepercayaan ini, mereka sangat menekankan pada dharma, yang terdiri dari melakukan ritual2 Weda.
Mimamsa menerima ajaran logika dan filsafat dari sekolah2 lain, tapi mereka merasa belum cukup sehingga ditekankan adalah tingkah laku yang benar. Mereka percaya bahwa pemikiran sekolah2 yang lain yang bertujuan untuk kebebasan (moksha) tidak bisa benar2 bebas dari keinginan dan keegoan, karena usaha untuk kebebasan malah dihalangi oleh keinginan sederhana yaitu keinginan untuk bebas. Menurut pemikiran Mimamsa, hanya dengan bertingkah laku sesuai sesuai yang tertulis di Wedalah orang bisa mencapai kebebasan.
Sekolah Mimamsa akhirnya merubah pandangannya dan mulai mengajarkan doktrin Brahman dan pencapaian Kebebasannya. Pengikut2nya kemudian menyatakan untuk mencapai kebebasan jiwa harus diimbangi dengan kegiatan pencerahan. Meskipun Mimamsa tidak begitu menarik perhatian para ahli2 filsafat, tapi pengaruhnya masih bisa dirasakan dalam kehidupan Hindu sampai sekarang, karena semua ritual Hindu, upacara dan hukum2 dipengaruhi oleh sekolah ini.

6. Vedanta

Vedanta atau kelanjutan dari Sekolah Mimamsa, lebih mengutamakan ajaran filsafat dari Upanishad daripada perintah2 ritual dari Brahmana.
Ketika tradisi ritual Weda trus berlangung sebagai ritual meditatif dan untuk mencari kedamaian, pusat2 pengajaran ilmu pengetahuan semakin banyak muncul. Ini adalah aspek mistik dari agama Weda yang fokus pada meditasi, desiplin diri, spiritual lebih daripada tradisi2 ritual.
Bisa dikatakan Vedanta adalah esensi dari Weda, dibungkus oleh Upanishads (pemikiran2 Weda tentang kosmologi, himne dan filsafat). Brihadaranyaka Upanishad adalah dipercaya sudah ada jauh sebelum 3.000 tahun lalu. Upanishad ada 100an lebih, dimana 13 upanishads dianggap sebagai pokok. Kontribusi yang paling signifikan dari Weda adalah ide tentang kesadaran diri dan dilanjutkan dengan tidak dibedakannya kesadaran tadi dengan Brahman.
Ungkapan2 dalam Vedanta diberikan dalam bentuk perumpamaan, kiasan dan puisi, dan boleh ditafsirkan bermacam2. Mengakibatkan Vedanta dipisahkan menjadi 6 cabang sekolah, setiap penafsiran teks tertentu dalam cara tertentu dan menghasilkan seri tertentu juga dalam ajarannya.
Diantaranya adalah:
Adi SankaracharyaAdi Sankaracharya

- Advaita oleh Adi Shankaracharya (788-820) = Advaita Vedānta dikemukakan oleh Adi Sankara dan kakek gurunya Gaudapada, dengan menulis Ajativada. Menurut sekolah Advaita Vedanta ini, Brahman adalah satu2nya yang nyata, dan dunia yang seperti terlihat ini adalah ilusi. Dikarenakan hanya Brahman satu2nya yang nyata, maka Brahman tidak bisa dibilang memiliki atribut apapun. Kekuatan ilusi dari Brahman disebut Maya yang menyebabkan dunia ini ada. Ketidaktahuan dari kenyataan ini adalah penyebab semua penderitaan di dunia ini, dan hanya melalui pengetahuan yang benar tentang Brahman, seseorang bisa mencapai pembebasan. Ketika seseorang mencoba untuk mengetahui Brahman melalui pikirannya yang masih diseliputi Maya, maka Brahman muncul dalam bentuk Tuhan (Ishvara), yang terpisah dari dunia dan mahluk. Pikiran ada, Tuhan/Ishvarapun ada; pikiran terlampaui, Isvarapun tidak ada, yang ada hanya Brahman. Pada kenyataannya, tidak ada bedanya antara jiwa individu jivatman (atman) dan Brahman. Pembebasan terjadi dengan mengetahui kenyataan ini yakni tidak-ada-perbedaan (non-dualitas = a-dvaita). Maka, jalan untuk pembebasan adalah hanya dengan pengetahuan (jnana). Kelanjutan ajaran Advaita disebarkan oleh Ramakrishna, Svami Vivekananda, Sri Ramana Maharsi.

- Visishtadvaita oleh Ramanujacharya (1040-1137) Vishishtadvaita dikemukakan oleh Ramanuja/Ramanujacharya yang menyatakan bahwa jīvātman adalah bagian dari Brahman, yang akhirnya dinyatakan sama tapi tidak identik. Perbedaan pokok dengan Advaita adalah Visishtadvaita menyatakan Brahman memiliki atribut, termasuk kesadaran jiwa individu/Atman juga materi. Brahman, Atman dan Materi adalah berbeda tapi satu dengan lainnya tidak bisa dipisahkan. Sekolah ini mengemukakan Bhakti atau pemujaan kepada Tuhan dalam bentuk Vishnu sebagai jalan pembebasan. Maya dilihat sebagai kekuatan mencipta dari Tuhan.

- Dvaita oleh Madhvacharya (1238-1317) Dvaita dikemukakan oleh Madhwacharya. Ini juga disebut sebagai tatvavādā - Filsafat Realitas. Sekolah ini mengidentifikasikan Tuhan sebagai Brahman secara mutlak, dalam bentuk Vishnu atau inkarnasiNya seperti Krishna, Narasimha, dll. Dalam hal ini juga dikenal sebagai filsafat sat-vaishnava untuk membedakan dengan sekolah Vishishtadvaita oleh sri-vaishnavism. Dvaita ini menyatakan Brahman, jiwa individu (jivatman) dan materi semuanya abadi dan merupakan entitas yang berbeda2. Sekolah ini juga menganjurkan Bhakti sebagai jalan pembebasan yang sattvic/tenang dimana kebencian (Dvesha) dan ketidakpedulian terhadap Tuhan akan membawa ke neraka yang abadi dan penderitaan abadi. Pembebasan adalah keadaan pada pencapaian tingkat maksimal kesenangan dan kesedihan, yang diberikan kepada jiwa (pada akhir sadhana/kesadaran), berdasarkan ikatan jiwa dan sifat2 alami kebaikan dan kejahatan. Achintya-adbhuta shakti (kekuatan tanpa batas) dari Tuhan Vishnu adalah sebagai penyebab utama dari alam semesta dan materi awal (prakrti) adalah penyebab material alam. Dvaita juga mengemukakan bahwa semua aksi dilakukan oleh Tuhan untuk menghidupi jiwa2, dan menganugrahkan hasil kepada jiwa2 sedangkan diriNya sendiri tidak terpengaruh sedikitpun oleh hasil tersebut.

- Dvaitadvaita (Bhedabheda) oleh Nimbarka abad 13 Dvaitādvaita dikemukakan oleh Nimbārka, berdasarkan sekolah sebelumnya yaitu Bhedābheda, yang diajarkan oleh Bhaskara. Menurut sekolah ini, Jivatman bisa sama dan bisa berbeda dengan Brahman. Hubungan Jiva dengan Brahman bisa seperti Dvaita dalam satu sudut pandang, bisa seperti Advaita dari sudut pandang yang lain. Di sekolah ini, Tuhan divisualisasikan sebagai Krishna.

- Shuddhadvaita oleh Vallabhacharya (1479 - 1531) Shuddhadvaita dikemukakan oleh Vallabha/Vallabhacharya. Sistem sekolah ini juga mengidentifikasikan Bhakti sebagai satu2nya jalan pembebasan. Dunia ini dikatakan sebagai permainan (Leela) dari Krishna, yang sat-chit-ananda (eksistensi, kesadaran, kebahagiaan).

- Acintya Bheda Abheda oleh Chaitanya Mahaprabhu (1486-1534), Achintya Bhedābheda dikemukakan oleh Chaitanya Mahaprabhu, dia adalah pengikut Dvaita vedantanya Sri Madhwacharya. Doktrin yang menyatakan tidak bisa dibayangkan dan secara bersamaan keadaan penyatuan dan pemisahan dari jiwa dan energi Tuhan, adalah dua2nya berbeda dan tak-berbeda dari Tuhan, dimana Dia diidentifikasikan sebagai Krishna, Govinda, meskipun tidak bisa dipikirkan, bisa dialami melalui proses kecintaan dan bakti. Filsafat tentang "tidak bisa dibayangkan, penyatuan dan pemisahan" diikuti oleh beberapa gerakan modern Gaudiya Vaisnava, termasuk ISKCON (International Society for Krishna Consciousness) yang lebih dikenal dengan Hare Krishna ditemukan oleh Svami Prabhupada.


Sekolah2 Nastika adalah:

1. Buddhisme
2. Jainisme
3. Carvaka, sekolah material skeptis, yang sudah punah sekitar abad 15 karena kitab utamanya hilang.

Di sejarah Hindu, perbedaan dari sekolah2 diatas terjadi pada "jaman emas". Kemudian sekolah2 Vaishshika dan Mimamsa tidak muncul pada akhir jaman pertengahan, dimana bermacam2 cabang sekolah dari Vedanta (Dwaita "dualisme" dan Adwaita "non-dualisme", dan yang lainnya) mulai muncul dan banyak dipakai sampai sekarang. Nyaya bertahan sampai abad 17 sebagai "Navya Nyaya" Neo-Nyaya, sedangkan Sankhya dikit demi sedikit kehilangan statusnya sebagai sekolah lepas. Tapi inti ajarannya mempengaruhi Yoga dan Vedanta.


Sumber: wikipedia dan site lainnya

By: Jiwa Negara Yanik

Friday, June 06, 2014

10 Tahapan minuman keras.

Arak dan Tuak adalah minuman tradisional beralkohol yang paling terkenal di Bali. Tuak berasal dari sadapan pohon aren atau kelapa yang berkadar alkohol rendah, sedangkan arak adalah hasil penyulingan dari tuak yang mempunyai kadar alkohol lebih tinggi. Ada satu lagi yaitu "brem", berasal dari tape beras atau singkong, jika disuling brem juga akan menjadi arak.  Kadar alkohol arak tergantung dari hasil proses penyulingan.

Disini saya ingin menulis 10 tahapan minum berdasarkan kitab Jawa dan Bali.  Disini dipakai takaran "dhasar", bumbung bagi tuak dan sloki bagi arak.  Bisa juga dipakai gelas bagi bir dan sloki bagi wiskey :D

Berikut adalah tahapannya:

1. EKA PADMASARI

Eka: satu; Padma: Bunga (teratai); Sari: inti, esensi, asri. Orang minum kalau baru satu sloki diibaratkan sari bunga mekar yang indah.  Dipandang enak, di hati menyenangkan, di tubuh menyehatkan.

2. DWI MARTANI

Dwi: Dua; Martani: (Marta: sabar; Martani: menghibur). Orang minum sampai ke sloki kedua ucapannya masih jelas, ramah dan memberikan hiburan kepada semua orang juga menghibur untuk diri sendiri.

3. TRI KAWULA BUSANA

Tri: Tiga; Kawula: Bawahan/pembantu; Busana: Pakaian. Orang minum tiga sloki ibaratnya pembantu yang berpakaian serba indah atau baru; hatinya amat gembira, merasa "pede" sehingga tidak minder untuk berdampingan dengan tuannya. Dikatakan bahwa sloki ke tiga ini, dengan timbulnya kehilangan rasa segan dan rasa malu. Sayangnya setelah menghabiskan tiga sloki orang bukannya berhenti minum tetapi justru akan meneruskan minum karena rasa minuman sudah terasa enak di bibir dan tubuh.

4. CATUR WANARA RUKEM

Catur: Empat; Wanara: Kera; Rukem: Makanan atau buah-buahan. Disinilah kehilangan pengendalian diri mulai meningkat. Minum habis empat sloki diibaratkan kera berebut buah-buahan. Sudah barang tentu suasana ribut, hiruk pikuk dan cenderung terjadi kekisruhan.

5. PANCA SURA PANGGAH

Panca: Lima; Sura: Berani; Panggah: Kokoh, tidak berubah. Orang yang minum habis lima sloki selalu serba berani. Tak ada keraguan maupun ketakutan lagi. (Catatan: “berani” dalam pengertian tidak baik, tidak ada lagi rasa malu dan takut). Binaragawan pun kelihatan tubuhnya kecil :D.

6. SAD GUNA WEWEKA

Sad: Enam; Guna: pandai; Weweka: Waspada. Maksudnya, setelah minum enam sloki maka orang akan semakin waspada (dalam pengertian negatif, mudah curiga). Mendengar pembicaraan yang sama-samar, timbul salah sangka. Ada orang memandang biasa-biasa saja terasa mau menantang.

7. SAPTA KUKILA WARSA

Sapta: Tujuh; Kukila: Burung; Warsa: Hujan. Minum habis tujuh sloki ibaratnya burung kehujanan. Gemetaran dengan mengeluarkan suara-suara yang tak jelas. Mulai berbicara dengan bahasa asing.

8. ASTHA KACARA-CARA

Astha: Delapan; Kacara-cara: Bicara sembarangan. Setelah habis delapan sloki maka orang akan bicara sembarangan tidak jelas ujung-pangkalnya. Mulai berbicara bahasa alien :D

9. NAWA WAGRA LUPA

Nawa: Sembilan; Wagra: Macan; Lupa: kelelahan. Orang minum sembilan sloki sudah muntah-muntah dan lemas, ibaratnya harimau kelelahan. Tergolek tidak berdaya.

10, DASA BUTA MATI

Dasa: Sepuluh; Buta: Raksasa; Mati: Mati. Akhirnya setelah sepuluh sloki ibarat bangkai raksasa galak yang tergeletak mati tanpa meninggalkan bekas-bekas kegalakannya. 


KESIMPULAN

Melihat uraian di atas,  marilah kita minum sewajarnya, jangan berlebihan.  Cheeerrssss.... mari bersulang....!!!!

baligreattravel.com